Meniru Marah

MENIRU MARAH
Oleh: Kak Eka Wardhana, Rumah Pensil Publisher

Ayah dan Bunda, pada tahun 1961 Psikolog Albert Bandura dan kawan-kawan pernah melakukan sebuah penelitian tentang perilaku agresif pada anak. Dalam penelitian itu, Bandura membagi sekumpulan anak Taman Kanak-Kanak menjadi 4 kelompok. Tiap kelompok mendapat perlakuan yang berbeda:

• Kepada Kelompok Pertama diperlihatkan sebuah film tentang orang dewasa yang melakukan tindakan kasar. Orang dewasa itu memukul sambil membentak-bentak sebuah boneka.

• Kepada Kelompok Kedua diperlihatkan adegan perkelahian dalam film kartun.

• Kepada Kelompok Ketiga diperlihatkan adegan 2 orang dewasa yang sedang berkelahi.

• Kepada Kelompok Keempat diperlihatkan adegan orang dewasa yang memperlakukan sebuah boneka dengan tenang, tanpa perilaku agresif.

Setelah itu semua anak dibawa ke sebuah ruangan bermain. Mereka dibiarkan berbaur dan memilih sendiri permainan apa yang akan dilakukan. Ternyata saat bermain, hanya anak-anak dari Kelompok Keempat yang bersikap normal dan tenang. Sementara, anak-anak dari Kelompok Pertama, Kedua dan Ketiga melakukan tindakan agresif.

Pertanyaannya Ayah dan Bunda: manakah kelompok yang paling agresif? Jawabannya adalah anak-anak dari Kelompok Ketiga, kelompok yang melihat adegan perkelahian nyata dari orang dewasa…

Ayah dan Bunda, penelitian ini menunjukkan hal yang sangat jelas: Anak-anak meniru tindakan agresif dari model yang mereka lihat (bisa jadi, inilah kesimpulan artikel kecil ini). Namun menurut saya, penelitian ini masih memiliki jarak dari kenyataan sebenarnya. Jelasnya bisa dilihat sebagai berikut:

1. Dalam situasi penelitian anak hanya menonton film, sedangkan dalam kenyataan anak melihat langsung adegan nyata.

2. Dalam situasi penelitian, anak menonton bersama-sama. Saat bersama, setidaknya anak masih bisa membagi perasaannya pada yang lain. Sedangkan dalam kehidupan nyata, seringkali anak sendirian melihat adegan di depan matanya. Tak ada teman untuk berbagi.

3. Dalam situasi penelitian, adegan hanya disaksikan 1 kali saja. Sedangkan dalam situasi nyata, sangat mungkin anak melihat adegan kekerasan yang berulang-ulang. Misalnya ia melihat ayah memaki ibu setiap ada masalah kecil.

4. Karena tahu ia sedang menonton, anak tidak merasa terancam langsung secara fisik. Itu yang terjadi dalam situasi penelitian. Sedangkan dalam kenyataan, siapa pun akan merasa terancam secara fisik melihat adegan kekerasan di depan matanya.

5. Model yang dilihat anak dalam situasi penelitian sama sekali tidak ia kenal. Sedangkan dalam kenyataannya berbeda. Penelitian menunjukkan anak lebih sering melihat kekerasan yang dilakukan orang-orang yang ia kenal. Hal ini tentu bisa menimbulkan efek meniru yang lebih kuat. Bandura menamakannya Vicarious Reinforcement: perkuatan motivasi meniru akibat model yang dikenal.

Ayah dan Bunda, Anda bisa menambahkan sendiri beberapa kesenjangan lainnya. Maksud saya: bila dalam simulasi penelitian saja hasilnya sudah signifikan mempengaruhi anak melakukan kekerasan, apalagi bila anak melihat langsung dalam dunia nyata. Mungkin hasilnya bisa berkali lipat. Benar-benar menakutkan, bukan?

Ayo Ayah dan Bunda, mulai sekarang jauhi tindak kekerasan meskipun bermaksud baik. Misalnya dengan alasan menegakkan disiplin. Jauhi juga tindak kekerasan yang menurut kita biasa, misalnya kekerasan verbal seperti mengumpat. Jauhkan juga anak dari tontonan, permainan dan game yang menampilkan kekerasan. Bahkan dengan alasan olah raga, jauhi tindak kekerasan. Misalnya jangan memasukkan anak dalam olah raga bela diri yang membuatnya jadi jumawa, tapi daftarkan ia ke dalam olah raga bela diri yang menganut ilmu padi: semakin berisi semakin menunduk.

Insya Allah kita bisa, ya Ayah? Ya Bunda?

Salam Smart Parents!

Category: Tips Parenting
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed.You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 × three =