Mengapa Ayah Lebih Sabar daripada Ibu

Mengapa Ayah Lebih Sabar daripada Ibu

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Penggagas Program 1821 Kumpul Keluarga

Saya sering mendengar dan membaca sebagian ibu di luar sana mengatakan kalimat semacam ini:

“Abah Ihsan, suami saya melarang saya ikutan belajar parenting karena katanya ‘teori doang’ bukti nyata, tidak ada. Suami saya juga berkata, dia tak ikutan parenting sana sini, buktinya dia lebih sabar menghadapi anak. Sedangkan saya masih saja tak sabaran”.

Atau “Abah Ihsan, saya malu sebenarnya sama suami saya, tapi merasa beruntung juga. Suami saya tuh sabar banget menghadapi anak dan lebih sabar menghadapi anak daripada saya. Saya yang sudah ikutan belajar parenting lebih sering ke sana kemari malah masih sering kurang sabar dengan anak”.

Boleh tidak setuju dengan saya. Para ayah normalnya memang secara alamiah: lebih sabar berlipat dari istri! Ini keumuman. Bahwa ada yang tidak sesuai keumuman, ya normal saja. Meski tidak pernah belajar parenting ke sana kemari sekalipun. Ini normalnya loh! Bahkan setidaknya 3x lipat lebih sabar daripada ibu. Kenapa?

Ada banyak faktor. Faktor utama adalah tentang durasi pertemuan ayah bertemu dengan anak jauh lebih sedikit dibandingkan si ibu. Kekurangan waktu ini kemudian dibayar dengan kesabaran dan rasa kasih yang memang belum disalurkan sejak berpisah dari pagi dengan anak.

Ini sekadar ilustrasi kasar. Jangan fokus ke akurasi angkanya, ini sekadar sampel ilustasi saja. Tiap keluarga bisa memiliki kondisi berbeda, ini hanya keumuman.

Anggap di akhir pekan libur, Sabtu – Minggu, suami istri sama-sama punya skor yang sama berperan di keluarga. Lalu Pada hari kerja Senin – Jumat, katakanlah istri berperan sebagai ibu penuh waktu “mom stay at home”. Selama bangun dari subuh pukul 04.30 sampe anak tidur 21.00, jam dengan anak (asumi anak belum sekolah), maka jam pertemuan ibu dengan anak: 16,5 jam.

Ayah? Setiap Senin – Jumat katakanlah ayah ini menjadi ayah yang punya peran selain pencari nafkah, juga melibatkan diri berkontribusi dalam urusan keluarga. Setiap pagi, mulai bangun subuh, ngajak ke masjid, dan “quality time activity” lainnya di pagi hari 04.30-07.00, berarti jam pertemuan dengan anak 2,5 jam di pagi hari.

Lalu di sore dan malam hari, pulang kerja sampai rumah pukul 18.00. Sejak pukul 18.00 asumsikan “doi” yang merasa bertanggung jawab ini, mengambil peran lagi, melaksanakan program 1821, ngajak anak ke masjid, menemani anak belajar, “story time”, mengantarkan anak ke tempat tidur sampai jam 21.00 berarti 3 jam.

Total jendral pertemuan ayah dengan anak Senin-Jumat: 5,5 jam. Ibu? 16,5 jam. Kira-kira perbandinganya: 1:3.

ITU PUN JIKA SI AYAH IKUT NGURUS LOH YA. Lah kalau mereka masih beranggapan urusan anak hanya urusan ibu gimana?

Jika mau hitung-hitungan, ayah memiliki jam pertemuan dengan anak 3x lebih sedikit daripada ibu. Jadi normalnya ayah 3x lipat lebih sabar daripada ibu.

Karena itu, saya sering mengatakan pada para ayah yang mengaku lebih sabar dari istri:

Coba ayah urus anak selama 7 hari berturut-turut, tanpa istri tanpa pembantu. Sendirian! Ingat ya sendirian. Cukup dari 07.00-18.00.

Apakah setelah itu, Anda merasa lebih sabar dari istri?

Apa yang akan terjadi, jika Anda lakukan selama 365 hari?

Apakah setelah itu, Anda merasa lebih sabar dari istri?

Cobalah gantikan peran istri Anda di rumah. Urus rumah dan anak tiap hari dari pagi. Selain rutinitas yang sama tiap hari menghadapi pemandangan yang sama: dapur, kasur, ketemu tukang sayur.

Apakah setelah itu, Anda merasa lebih sabar dari istri?

Saya tidak tahu jawaban Anda. Tapi yang saya tahu ketika saya tanyakan ini pada ribuan ayah yang ikuti kelas-kelas pelatihan saya, mereka menjawab “oh tidaaaak!” Bahkan ada yang berkata “jangankan 7 hari Abah, 1 hari aja pusing!”

Saya tidak tahu jawaban Anda. Tapi yang saya tahu ketika puluhan ayah di Korea Selatan ditantang ngurus anak hanya sekira 2×24 jam tanpa istri, dalam sebuah acara “reality show” tv korea, hampir semua ayah ini kerepotan luar biasa yang membuat sebagian besar ayah ini wajib merasa berterima kasih kepada istrinya.

Tak sedikit bahkan, setelah tantangan selesai, sebagian ayah hampir sujud-sujud dan minta maaf sama istrinya. Karena mereka sudah merasakan: tidak mudahnya menjadi seorang ibu.

Ini tidak berarti laki-laki harus melakukan semuanya, tidak berarti juga harus bertukar peran, apatah lagi melandaskan kebenaran dengan “reality show” Korea. Saya juga tidak mengatakan bahwa perempuan lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki atau sebaliknya. Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan siapa yang lebih tinggi derajat atau tidak.

Saya hanya ingin mengajak laki-laki berempati, syukur jika belajar bersama dengan istrinya.

Jika tidak, setidaknya tidak menegasikan atu melemahkan semangat istrinya yang tengah berikhtiar belajar pengasuhan (parenting). Mungkin hasilnya tidak selalu persis seperti yang diharapkan. Tapi insya Allah ada perbedaan orang yang belajar dengan yang tidak.

Karena itu, ini pesan saya buat para Ayah demi menjaga kekuatan energi istri Anda, setidaknya 3 hal:

Pertama, jika Anda melihat istri mulai marah-marah tidak jelas, emosian tidak jelas, bantu istri Anda: “Sini anak-anak sama Ayah.” Atau “Ada yang bisa Ayah bantu, Bunda sayang?”

Kalimat sederhana itu akan membuat semangat mereka terjaga. Itulah suami yang bertanggung jawab. Bukan malah “kamu nih gak bener mendidik anak, yang sabar dong!”

Atau saat anak ngacak-ngacak rumah, istrinya berkata “jangan diacak-acak, main yang lain,” eh suaminya berkata “tidak apa! Namanya anak-anak.”

Sekilas memang benar perkataan suaminya jika memang setelah itu suami yang membereskan. Hal yang membuat tambah emosi istrinya karena setelah itu bukannya suami yang membereskan, tapi kemudian yang diminta membereskan justru istrinya, padahal dari pagi si istri sudah melakukan pekerjaan semacam itu.

Gampang jika hanya menyalahkan! Tapi jika pun salah, sebagai “imam”, sesalah apapun istri kita, itu juga kontribusi kita di dalamnya yang tidak sensitif terhadap situasi istri.

Jika situasi berulang terlalu sering, saatnya istri Anda, “diupgrade” suasana hatinya dan “upgrade” kompetensinya. “Upgrade” suasana hati dengan memberikan istri untuk melihat “pemandangan” berbeda. Jalan-jalan sepekan sekali, “couple time” tanpa anak dengan kita setidaknya sebulan sekali, keluar kota setahun 2x.

“Upgrade” kompetensi istri dengan berikan kesempatan istri belajar. Bantu ia untuk menghadiri majlis-majlis ilmu: seminar parenting, beli buku, halaqoh, dauroh, gabung komunitas yang baik-baik dll. insya Allah ini semua akan membantu.

Kedua, hentikan meremehkan perkara-perkara yang mungkin menurut kita sepele tapi tidak menurut mereka. Jangan biasakan ngomong pada istri “lebay deh”. Karena kita tidak merasakan situasi seperti mereka. Ingat ya, yang lebay menurut kita bisa jadi serius menurut orang lain.

Ketiga, untuk merasakan energi empati, sesekali sediakan waktu setidaknya 1x sepekan urus anak sendiri dari pagi sore, tanpa istri. Saya sering melakukannya, dengan 6 anak saya, saat istri ngaji ada acara dll. “Boleh bawa anak abah?” Saya katakan “Tidak! Itu acara ummi, bukan acara anak-anak.”

Saat saya menjaga semua anak saya jalan ke mall atau jadi “dad stay at home!” Beuh! Berasa… Berasa sekali bray, betapa hebatnya istri kitah!

Lalu untuk para ibu, jangan pernah menyerah dan jadi inferior “saya masih emosi gak sabar” dll. Normal moms shalihah.. Normal!

@abah ihsan official

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed.You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

six − one =